Kopdar “Amazing Race” di Bandung
dan Semangat Kemerdekaan
BERGERAK dari pukul 05.15 WIB, senin (18/08), kereta yang saya tumpangi dari Gambir itu menuju Stasiun Bandung. Sepanjang perjalanan saya berharap kereta parahyangan yang saya tumpangi itu bisa tiba tepat waktu.
Beberapa menit kemudian, setelah kereta itu melaju ada bunyi dari radio MP3
player saya,
“blep, ctrztztzt”, hwaduh… “sepertinya saya kehilangan frekwensi nih”, kata saya dalam hati. Gimana ya?! Mana MP3
playernya belum diiisi lagi. Saya bingung mau ngapain—secara saya berangkat ke Bandung juga sendirian (
Rama, Imam, Mas Edy dan
Lala batal ikut).
Ongkos naik kereta kelas bisnis Jakarta-Bandung lumayan murah. Hanya dengan
Rp 20.000 saja kita sudah bisa sampe tujuan (dapat tempat duduk pula). Beda halnya Bandung-Jakarta, uang Rp 20.000 cuma bisa buat berangkat saja. Bisa sih duduk, tapi di bawah (beralaskan koran), mau tiduran juga gakpapa kalo nggak malu sama penumpang (saya pastikan bakal ada gangguan dari pelayan yang mondar-mandir jual makanan). Kalo nggak kuat berdiri selama 3 jam gimana? Yaudah, keluarin aja uang
Rp 35.000. Beres sudah.
Perjalanan saya sebagai
bagpacker amatiran kali ini lebih menantang. Gimana enggak, setelah nyampe di Bandung informasi lokasi yang saya dapatkan ternyata tidak diketahui sama tukang ojek atau akang becak disana. Masak sih mereka nggak ngerti
Taman Walikota?!! Udah gitu nomor
contact person yang saya dapatkan dari
blog penyelenggara kopdar ternyata tidak bisa dihubungi alias mati. Sebenarnya saya rada buru-buru karena tidak bisa datang tepat waktu. Tapi semuanya saya anggap sante aja, saya tahu pasti nanti ada jalan keluarnya. Mau kamana, Kang?
“Mmmhufff!!”, saya mengeluarkan napas panjang supaya tetap tenang. “Lho saya kan punya kenalan—orang terpercaya di Bandung, kenapa nggak saya telpon dia aja?!!, spontan saya. Hanya dalam hitungan detik, hape CDMA saya yang bernomor esia gogo itu berbunyi. “Halo, ini Mas Anton ya…, bla bla bla… bla bla bla…”. Okeh sip, nggak pake lama saya langsung melangkahkan kaki ke
TKP (Tempat Kumpul Peserta). Naik mikrolet, lalu jalan kaki, tanya sana-sini, jalan lagi dan akhirnya sampai juga. Tidak malu bertanya, tidak sesat di jalan. Hahaha....
Nan jauh disana saya mendapati puluhan blogger peserta kopdar sudah berkumpul. Kopdar kali ini tanpa dreskod khusus. Mereka tampak berbaris rapi. Saya yang baru datang dan agak telat ini langsung diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri. Hihihi, saya maju dengan pedenya.
Dalam acara kopdar bertema
“Amazing Race” ini, peserta diharapkan bisa kompak dengan timnya dalam memecahkan teka-teki atau pertanyaan yang diberikan panitia. Satu tim yang terdiri 5-6 orang itu tidak lupa mengabadikan foto-foto selama di jalan. Hukumnya wajib, Bo!!
Saya sempat menyusuri satu daerah di tengah kota yang keren banget lho
(saya lupa nama jalannya). Saya sempat merasakan udara bersih, ditambah lagi hembusan angin sepoi-sepoi. Mata saya dimanjakan setelah berjalan menyusuri puluhan toko berarsitektur kuno menjual ratusan lukisan koleksi mereka. Sebagai kawasan wisata budaya, tempat ini menurut saya cukup mendapat perhatian dari pemerintah kota, lokasi itu kelihatan bersih dan rapi. Saya merasa seperti di luar negeri aja. Mungkin inilah kenapa Bandung disebut
Paris van Java.
I Love Bandung very much.
Kembali lagi ke topik. Kopdar dengan ide seperti ini menurut saya cukup unik. Kenapa? Karena saya—sebagai orang yang bukan berasal dari Bandung—bisa mengenal lebih jauh budaya lokal di kota ini, dan saya pun masih ada kesempatan untuk mengakrabkan diri dengan tim saya. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Hahaha…
Saya mendapatkan manfaat lebih dari kopdar kali ini. Percaya atau tidak, saya semakin cinta dengan budaya lokal indonesia. Belum lagi nanti kalo ada kesempatan kopdar di kota lain. Mmm…, pas banget tuh kalo dihubungkan sama momen kemerdekaan ini. Kita bisa menumbuhkan
semangat nasionalisme dan semangat untuk mencintai budaya yang kita miliki.
Hanya saja, semangat saya, kecintaan saya akan Indonesia ini mulai luntur lagi setelah kereta yang saya tumpangi itu tiba di Jatinegara, Jakarta. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan orang pengguna jasa kereta tampak tak teratur; mereka memadati, menyesaki stasiun kecil yang berlokasi di Jakarta Timur ini.
Penjual makanan, penumpang yang hilir mudik, tumplek blek di satu tempat. Udara AC yang sempat saya rasakan dalam kereta tadi sudah nggak ada lagi. Inilah realita udara alami Jakarta yang akan saya rasakan mulai sekarang, besok, dan besoknya lagi. Bau tak nyaman, apek, pesing, dan lain-lain yang mungkin lebih menjijikkan lagi.
Sementara itu, setelah saya berhasil keluar dari stasiun, saya sempat merasa bak selebritis. Bukan paparazzi (baca: wartawan) yang berebut mengabadikan foto saya, tapi tukang ojek yang berebut menawakan jasa. “Mas, ojeknya mas?!”, “Ojek-ojek!!”, “Mau kemana, Mas? ojek ya?!!”. Bibir saya lalu tersenyum kecil, menolak halus puluhan tukang ojek yang terus saya temui itu. Hwaaaaa…., Jakartaku….., Indonesiaku!!! Merdeka deh pokoknya!!!
Tukang ojek, mikrolet, sopir taksi dan pengguna jalan berkumpul jadi satu. Tak ada bedanya mana trotoar dan mana badan jalan. Puluhan kendaraan seperti raja jalanan dengan asap tebal, bunyi knalpot kopaja koar-koar, dan bajaj lalu lalang entah mau ke kiri atau ke kanan.
Edan!! Terlalu bersemangat agaknya….!!Jakarta, 19 Agustus 2008 pukul 08.14 WIBFoto-foto diambil dari http://www.emfajar.net/
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ANDA MASIH PEDULI DENGAN NEGERI INI??IKUT KONTES KOMEN YUK...
Klik sekali gambar di atas untuk mengikuti